Repair Win 7 Kado Pernikahan Tabahkan aku Kabhialvida na kehna Kepiting Pedas Anxietas Dawai Asmara XP Repair SFilm Veer Zaara

Sabtu, 04 Februari 2012

Kado Pernikahan Bab 10

Masa - Masa Pengantin Bab 10

Masa pengantin baru barangkali sama pentingnya dengan malam pertama. Masa ini istri Anda sangat sensitif. Perasaannya sangat peka. Apalagi kalau ia masih gadis. Begitu juga suami, sekalipun perasaan laki-laki konon tak sehalus perasaan wanita, ia akan peka. Karena keduanya sangat sensitif, maka ibarat negatif film yang belum dicuci, ia mudah terbakar. Kalau terbakar, hanguslah potret yang telah dibidik dengan sangat hati-hati itu. Masa ini memang sangat peka. Kehancuran ikatan suci pernikahan, kadang bermula dari masa-masa pengantin baru yang tak terlewati dengan baik. Apalagi jika salah satu atau keduanya telah membawa perasaan yang negatif ketika memasuki pernikahan, goresan luka yang perih akan mudah terjadi. Di sinilah kita melihat lebih dalam lagi hikmah di balik pesan Nabi Saw. agar memurahkan mahar dan memudahkan nikah. Di sinilah kita melihat bahwa hikmah di balik pesan-pesan Nabi tak cukup jika hanya ditulis dalam satu bab panjang seperti pada bab "Di Manakah Wanita-wanita Barakah Itu?". Di sinilah kita melihat bahwa masa-masa ketika proses sedang berlangsung terasa sangat penting.   Tetapi karena akad nikah telah berlangsung dan malam zafaf telah lewat, maka marilah kita teruskan pembicaraan kita tentang masa-masa pengantin baru. Soal indahnya masa yang penuh cerita ini, tak perlu saya tulis. Anda sudah tahu sendiri. Lagi pula indahnya masa pengantin baru itu lebih enak dialami daripada dipelajari. Karena itu lebih baik kita memahami masalah-masalah yang lebih penting berkenaan dengan masa pengantin baru ini.
 
Kado Pernikahan
146
Pertama, jangan lupa menemani istri Anda. Sediakan waktu khusus untuknya. Lebih-lebih jika ini merupakan pernikahan kedua dalam rangka matsna (poligami), maka Anda perlu sekali memperhatikan. Jangan abaikan haknya untuk tinggal bersama Anda dan menghabiskan masa-masa yang khusus untuk Anda berdua itu. Tentang berapa lama Anda harus tinggal bersama istri Anda ini, mari kita simak Anas (bin Malik) r.a. riwayat Abu Qilabah yang berkata: Khath Arab

Termasuk sunnah bagi (seseorang) jika menikahi (lagi) seorang gadis, setelah  dia mempunyai istri, dia bermukim padanya selama tujuh hari, lalu mengadakan pembagian. Apabila menikahi seorang janda, dia berhak untuk bermukim padanya selama tiga hari (tiga malam), kemudian barulah mengadakan pembagian (waktu). (Selanjutnya) Abu Qilabah berkata, "Jika aku mau, pasti aku mengatakan bahwa Anas r.a. memarfu'kan berita (atsar) tersebut kepada Rasulullah Saw." (HR Bukhari). Selama masa pengantin baru ini, sebaiknya suami lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istri, sehingga istri memiliki kesempatan untuk mulai belajar bertaba'ul (mengurus dan melayani) kepada suami dengan baik dan sesuai dengan suami. Sebaliknya, suami bisa belajar mengenal istri. Yang dimaksud dengan mengenal istri boleh jadi berkait-erat dengan persoalan-persoalan psikis, termasuk yang bersangkutan dengan bagaimana ia dibesarkan keluarganya, sehingga suami dapat memahami perbedaan sikap istri dan menerima apa yang bisa diterima. Tetapi mengenal istri boleh jadi bersangkutan dengan hal-hal yang kelihatan kecil dan sepele, misalnya makanan kesukaan istri.  Berkenaan dengan masalah yang disebut terakhir ini, boleh jadi sebagian orang menganggap sepele (ah, rumah tangga kok cuma ngurusi soal makanan). Tetapi menyepelekan masalah yang sepele ini, bisa memicu ketidakpuasan suami-istri. Mereka merasa diabaikan. Jika ini terus berlanjut, percekcokan bisa timbul. Pentingnya memperhatikan persoalan yang dianggap sepele itu tidak berarti melupakan soal-soal yang lebih penting. Sebab di atas itu semua, masalah yang paling berpengaruh memang orientasi. Pernikahan Hari Moekti adalah contoh yang tepat  untuk menggambarkan bahwa orientasi masing-masing sangat mempengaruhi kebahagiaan pernikahan. Ketika Kang Hari masih menjadi rocker, pernikahannya sering diwarnai ketidakpuasan dan ketegangan-ketegangan. Akan tetapi setelah menemukan Islam, mereka mendapati keluarganya penuh kebahagiaan. Salah satu masalah penting yang perlu dicatat dari perjalanan keluarga Hari  Moekti adalah soal perubahan orientasi keluarga yang ikut mempengaruhi kebahagiaan pernikahan mereka. Ketika Kang Hari telah menemukan Islam, ia menemukan cara pandang yang sama sekali baru tentang istri, tentang bagaimana bersikap dan memuliakan istri, tentang bagaimana memandang kehidupan, serta tentang tujuan hidup yang semuanya berpulang kepada Allah.

Wallahu A'lam bishawab. Semoga kita berkesempatan untuk menemukan Islam  sebelum kita meninggal. Singkat cerita, masa pengantin baru sangat peka. Dan seperti yang dinasehatkan oleh Ummul Mukminin 'Aisyah  radhiyallahu 'anha, tergantung pribadi masingmasing untuk memperoleh kemuliaannya.


---
... Di sinilah kita melihat lebih dalam lagi
hikmah di balik pesan Nabi Saw. 
agar memurahkan mahar dan memudahkan nikah.
Di sinilah kita melihat 
hikmah di balik pesan-pesan Nabi ....
---

Lalu apa yang bisa kita lakukan pada masa-masa pengantin baru? Wallahu A'lam
bishawab. Selebihnya, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada Anda.
Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Belajar Mendampingi Suami
Anda barangkali geli dengan sub judul ini. Tetapi kita menghadapi kenyataan
bahwa para wanita usia nikah di zaman kita umumnya tidak memperoleh pendidikan
memadai tentang bagaimana mendampingi suami. Sama halnya dengan suami mereka
yang pada umumnya tidak sempat mendapat pendidikan tentang bagaimana menjadi
suami sebagaimana yang diterima oleh orangtua mereka dulu. Sebabnya sederhana,
sebagian besar dari generasi usia nikah maupun keluarga baru di zaman kita
umumnya menghabiskan masa kecil hingga masa dewasa di sekolah-sekolah formal
saja. Mereka tidak memperoleh pengalaman dan pendidikan mengenai peran-peran
sosial maupun peran keluarga dari lingkungan, katakanlah dari masjid dan pesantren.
Bahkan, mereka juga tidak mendapatkan pengalaman itu dari keluarga --komunitas
terdekat yang sebenarnya paling memungkinkan untuk memberi pengalaman kepada
anak. 
Jika pada generasi orangtua, suami-istri memasuki pernikahan dengan membawa
bekal ilmu berumah-tangga yang mereka peroleh dari pesantren atau mushalla, maka
pada generasi kita tidak seperti itu. Kita memasuki pernikahan dengan tangan kosong;

sebagian nyaris tanpa bekal, kecuali ijazah diploma atau kursus MS Excel. Jika tidak,
kita membawa bekal sertifikat seminar menjelang pernikahan --yang tidak cukup
untuk memberi gambaran kepada kita tentang bagaimana berumah tangga, khususnya
mendampingi suami. Adapun bagaimana bersikap kepada suami ketika sedang marah,
bagaimana meredam emosi suami, bagaimana memberi sentuhan yang
membangkitkan gairah istri ketika suami mempunyai keinginan besar sementara istri
sedang dingin-dinginnya, dan soal-soal semacamnya, kita nyaris tidak tahu. Saya
sendiri baru tahu bahwa di pesantren ada literatur (sekaligus pengajiannya) tentang
urusan yang saya sebut terakhir itu ketika saya sudah menikah. Sampai sekarang saya
belum mengetahui isi kitabnya secara persis. Saya hanya mendengar penjelasan dari
seorang gus (putra kiai) tentang isi kitab yang membahas soal itu ketika menyarankan
kepada saya untuk mempelajari, sehingga bisa melengkapi pembahasan tentang jima'
pada buku Mencapai Pernikahan Barakah.
Kembali ke persoalan mendampingi suami, ada baiknya kita mendengar nasehat
dari Al-Khasyat, "Mendampingi suami merupakan sebuah proses belajar. Kecocokan
perasaan harus melalui beberapa tahapan, entah membutuhkan waktu lama atau relatif
singkat dari 'usaha dan kesalahan'."
Persoalan yang lebih penting dalam mendampingi suami adalah keinginan yang
tulus, bukan keterampilan memasak atau menjahit sebelum Anda menikah. Kata AlKhasyat,
"Sebelumini seorang istri perlu memiliki keinginan tulus untuk memahami suaminya,dan berusaha secara
terus-menerus untuk merealisasikan kecocokan dan keharmonisan dengan suaminya sedikit demi sedikit, dibarengi
dengan kesabaran, kelembutan,dan ketekunan dalam menghindari berbagai sebab permusuhan, serta
menjauhi sebab-sebab perselisihan, dan menciptakan suasana yang sesuai dengan perkembangan
semangat kasih-sayang dan cinta-kasih."
"Adalah mustahil," kata Al-Khasyat lebih lanjut, "bila kelembutan dan
keharmonisan dapat diraih tanpa kemauan dari pihak suami maupun istri untuk
menghilangkan sebagian tingkah laku dan beberapa kebiasaan yang lalu."
Seperti yang telah kita dengar dari Al-Khasyat, yang kita perlukan agar bisa
mendampingi suami adalah keinginan yang tulus. Istilah ini sangat indah dan
barangkali sangat sering Anda dengar. Tetapi apakah keinginan yang tulus itu?   Apa
yang dapat menandakan kita tulus atau tidak?
Wallahu A'lam bishawab. Silakan Anda cari jawabnya dengan bertanya kepada
diri Anda sendiri. 
Sementara Anda mencari jawabnya, mari kita melanjutkan pembicaraan kita
kepada persepsi. Secara sederhana, bagaimana Anda mempersepsi sesuatu sama
halnya dengan bagaimana Anda memandang. Jika Anda memakai kacamata merah,
maka apa pun yang Anda lihat akan tampak ada warna merahnya. Daun yang hijau
dan bunga yang putih pun akan tampak kemerah-merahan.
Selain itu, pengalaman dan pengetahuan Anda juga mempengaruhi. Orang Jawa
Timur akan berbinar-binar melihat rujak cingur yang hitam pekat bumbunya dan

menebar bau petis campur terasi (Ouw, sedapnya). Air liurnya akan segera mengucur
sehingga tak sabar lagi untuk segera menikmati. Tetapi orang lain, akan segera
bergidik. Jijik. Jangankan untuk memakannya, melihat orang lain makan saja rasanya
tengkuk sudah geli. Iihh, makanan kok hitam begitu. Baunya nusuk-nusuk lagi...!
Singkatnya, persepsi dipengaruhi oleh zhan (prasangka) Anda, sebagaimana
warna kacamata mempengaruhi penglihatan kita terhadap benda-benda yang kita
lihat. Selain itu, persepsi kita dipengaruhi oleh pengalaman, ilmu, dan juga kondisi
psikis kita saat itu. Jika Anda sedang marah sekali, Anda akan mudah melakukan
kesalahan dalam menafsiri perkataan orang lain, termasuk perkataan suami atau istri
Anda. Ini satu contoh.
Lalu apa perlunya kita berdiskusi soal persepsi dengan pembicaraan kita
mengenai masa pengantin baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, sekali lagi mari kita
ingat bahwa masa pengantin baru adalah masa yang sangat peka. Keindahan malam
zafaf dan kebahagiaan masa pengantin baru bisa berantakan karena persepsi kita tidak
baik. Akibatnya, kita mudah menaruh "kecurigaan" manakala kita menjumpai hal-hal
yang tidak mengenakkan. Ini dapat menjadi sebab munculnya bibit perselisihan yang
bersifat latent (tersembunyi).
3

Karena itu, pengantin baru perlu belajar menjaga persepsi terhadap apa yang
dilakukan oleh suami atau istrinya. Jika tidak, bersama keindahan itu akan tumbuh
penyakit yang dapat meledak sewaktu-waktu ketika masa pengantin baru telah lewat. 
Ada hal lain yang kita butuhkan di masa pengantin baru, yaitu penerimaan yang
tulus. Penerimaan dari kedua pihak. Bukan suami saja atau istri saja. Sederhana
bukan? Ya, sederhana. Sangat sederhana menuliskannya. Jauh lebih sederhana
daripada mengamalkannya.
Merintis Kebiasaan Yang Baik
Allah menyempurnakan setengah agama kita ketika kita dikaruniai kekuatan
untuk menikah. Kemudian kita disuruh menyempurnakan yang setengahnya. Salah
satu yang bisa kita lakukan untuk menyempurnakan setengah dari agama kita adalah
dengan merintis kebiasaan yang baik dan saling mengingatkan tentang watak (khuluq)
serta perilaku yang tidak baik. Sebagian dari kita mungkin memiliki perilaku buruk
yang tidak diketahuinya, kecuali dengan bantuan orang lain, termasuk suaminya
sendiri.
Berkenaan dengan merintis kebiasaan yang baik ini, ada sebuah hadis yang dapat
kita renungkan:

Khath Arab

"Barangsiapa yang menetapkan sunnah-hasanah (kebiasaan yang baik) lalu ia
diamalkan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa
dikurangi sedikit pun.
Dan barangsiapa yang menetapkan dalam Islam satu sunnah sayyi'ah
(kebiasaan yang buruk) lalu ada yang mengamalkannya, maka ia memperoleh dosa
seperti yang mengerjakannya tersebut tanpa dikurangi sedikit pun." (HR Muslim).
Kebiasaan baik yang kita rintis di rumah kita bisa jadi menyangkut ibadah
mahdhah seperti shalat, bisa jadi berkenaan dengan perilaku kita kepada keluarga atau
perilaku kita terhadap tetangga atau lebih luas lagi. Yang jelas, bisa merintis sunnah
hasanah atau tidak, sebaiknya suami isteri berusaha untuk mengurangi perilakuperilaku
yang buruk. Syukur kalau bisa saling belajar melihat kekurangan masingmasing
dan kemudian menyadarinya, bukan menjadikannya untuk berapologi. Syukur pula kalau
bisa memperbaiki kekurangan-kekurangan sehingga menjadi kebaikan.

Saya tidak berpanjang-panjang dengan masalah sunnah hasanah ini. Saya grogi
membahasnya. Karena itu, marilah kita beralih kepada tema kita yang lain, yakni
mengenai  mengurangi keburukan dan memperbaiki kekurangan. Mudah-mudahan
dengan pertolongan Allah, keluarga kita akan barakah dan selamat dan fitnah dunia
maupun fitnah akhirat. Mudah-mudahan dengan pertolongan Allah, anak-anak kita
dapat lebih memikirkan ummat Muhammad dibanding orangtuanya atas sebab kita
berusaha memperbaiki sebagian kekurangan kita.
Hambatan besar yang mungkin muncul ketika kita ingin menjadikan rumah kita
sebagai tempat untuk saling memperbaiki kekurangan, adalah seperti yang pernah
dilukiskan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin pada pembahasan
tentang penyakit hati. Ia berkata, "Akan tetapi, biasanya kita justru menyibukkan diri
dengan mencari-cari jawaban untuk menunjukkan kepada orang itu bahwa ia sendiri
juga menyandang cacat-cacat seperti itu. Lalu kita akan berkata kepadanya: 'Anda
sendiri juga melakukan begini... dan begitu....' Dan sikap permusuhan seperti itu
pasti menghalangi kita daripada memanfaatkan nasehatnya."  
Seperti kata Al-Ghazali, adakalanya kita berkata saat diingatkan, "Habis, Mas
kemarin juga begitu." 
Atau kalimat lain yang mirip dengan itu, misalnya, "Ah, Mas nyuruh bangun
awal. Mas sendiri susah dibangunkan. Bagaimana mau shalat malam kalau tidur
terus?"
Contoh lain yang semakna dengan itu masih banyak. Silakan Anda cari sendiri.
Atau, silakan Anda ingat-ingat apakah dalam hidup Anda pernah mengucapkan
Kado Pernikahan
151
kalimat-kalimat yang seperti itu manakala Anda diingatkan oleh suami Anda (atau
suami diingatkan oleh isterinya). Atau, Anda sering mengucapkannya? Jika ya, maka
ingatlah bahwa sesungguhnya suami Anda bukan Nabi yang Allah
mema'shumkannya, sehingga ia terjaga dari melakukan kesalahan. Ia juga bukan
tergolong sahabat Nabi --yang sekalipun tidak ma'shum, tetapi Allah meridhai mereka
dan mengampuni kesalahannya. Ia adalah manusia biasa, sangat biasa. Sehingga
terbuka kemungkinan melakukan kesalahan, sekalipun ia sangat menginginkan
kebaikan. Sederhananya, ia mungkin sering tidur tanpa bangun malam, meskipun
berkali-kali ia mengatakan ingin shalat malam.
Mari kita perhatikan hadis ini:


Khath Arab

"Allah merahmati seseorang yang bangun pada malam hari lalu menunaikan
shalat. Dia bangunkan istrinya dan jika istri enggan, maka dia percikkan air ke
wajahnya. Dan Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam hari untuk
menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan, maka
dia percikkan air ke wajahnya." (HR Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan
yang lainnya. Ibnu Hibban dan Al-Hakim menshahihkan hadis ini. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani berpendapat, hadis ini hasan).
Atau mari kita simak hadis ini:


Khath Arab



Dari Abu Darda' r.a., dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tiga (orang), Allah
mencintai mereka, tersenyum kepada mereka dan merasa gembira dengan mereka.
Pertama, orang yang apabila suatu golongan menghadapi serbuan maka ia
berperang sendirian semata-mata karena Allah 'Azza wa Jalla, maka ia terbunuh
atau ditolong oleh Allah 'Azza wa Jalla dan dicukupi-Nya lalu Allah berfirman
(kepada para malaikat, "Lihatlah hamba-Ku ini bagaimana dia bershabar karena-Ku
dengan (mengorbankan) dirinya."
Kedua, orang yang memiliki istri cantik dan kasur empuk lagi bagus, kemudian
ia bangun (melakukan shalat) malam, maka Allah berfirman, "Ia meninggalkan
syahwatnya dan mengingat-Ku. Padahal kalau suka ia tidur saja."

Ketiga, orang yang apabila dalam perjalanan (safar) bersama dengan
rombongan lalu di saat itu begadang malam kemudian tidur, ia bangun waktu sahur
dalam keadaan susah dan senang." (HR Thabrani dengan sanad hasan. AlHaitsami
berkata, "Para perawinya terpercaya."
Menurut Syaikh Muhammad
Nashiruddin
Al-Albani, hadis ini hasan).

Hadis-hadis ini tidak berbicara tentang sifat suami sebagai manusia biasa. Dan
saya pun tidak bermaksud untuk menjelaskan kepada Anda makna dari dua hadis
tersebut karena saya belum berhak menjelaskan. Tetapi melalui hadis ini saya ingin
berbincang-bincang dengan Anda bahwa suatu saat barangkali Anda yang
memercikkan air ke wajahnya, dan di saat lain Anda yang susah dibangunkan
sehingga suami perlu memercikkan air ke wajah Anda. Suatu saat Anda yang perlu
mengingatkan suami ketika ia melakukan kesalahan atau mengucapkan kalimatkalimat
yang merusak. Tetapi di saatlain boleh jadi suamilah yang harus mengingatkan Anda karena Anda
melakukan kesalahan atau mengucapkan kalimat yang tidak baik; kesalahan yang sama seperti
yang pernah dilakukan oleh suami Anda.

Jika Anda menerima peringatan dan nasehat suami, sementara suami pun
demikian, maka insya-Allah dari rumah Anda akan terbit cahaya yang menerangi dan
memberi kesejukan bagi sekeliling. Paling tidak bagi orang yang mendiami rumah
Anda. Tetapi jika Anda berkata "Uuh, Mas juga sering begitu", maka kisah romantis
tentang pernikahan penuh barakah selesai sampai di sini. Ia akan merasa terhalang
secara psikis untuk mengingatkan Anda dengan segera di saat ia menjumpai Anda
melakukan kesalahan. Yang paling mudah ia lakukan kemudian adalah marah dan
menyalahkan. Kalau ini terus berlanjut, berarti Anda berdua telah jatuh dalam
coercive communication (komunikasi memaksa). Selengkapnya tentang coercive
communication ini bisa Anda simak pada bab Komunikasi Suami-Istri di jendela tiga
buku ini. 
---
Seperti kata Al-Ghazali, 
saat diingatkan adakalanya kita berkata,
"Habis, Mas kemarin juga begitu."
---
Dan Istri Pun Hamil
Masa pengantin baru, barangkali terasa belum lewat ketika istri Anda muntah-
muntah di pagi hari. Ketika Anda mendekat, ia menepis Anda. Di saat Anda
membutuhkan seorang teman untuk berbincang santai, ia malah berangkat tidur dan
enggan bangun. Belakangan periksa, ternyata ia telah positif mengandung.

Sebagian orang terkejut dengan masa nyidam. Apalagi kalau mereka sama-sama
tidak mengerti bahwa perubahan situasi emosi yang drastis itu disebabkan oleh
datangnya kehamilan, percekcokan bisa tersulut dengan cepat sebagaimana api yang
membakar rumput kering. Akibatnya, hubungan suami dengan istri akan renggang.
Masing-masing menyimpan perasaan yang tidak mengenakkan.
Datangnya kehamilan dan masa nyidam itu adakalanya pada bulan ketiga
pernikahan, adakalanya dua tahun kemudian. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan istri sudah mengandung setelah satu bulan menikah.
Nah, jika Anda masih menginginkan suasana pengantin baru, apa yang sebaiknya
Anda lakukan bersama istri  Anda yang mulai mengandung?
Silakan Anda jawab sendiri. Mumpung masih pengantin baru.



Catatan Kaki:
1. Ustadz Hari Moekti sempat menceritakan pengalaman-nya berumah tangga
pada kesempatan acara bedah buku "Seni Dalam Pandangan Islam" karya
Abdurrahman Al-Baghdadi di Fakultas Sastra UGM. Cerita serupa juga
dikemukakan ketika menjadi pembicara pada seminar Memaksimalkan
Kecerdasan Anak yang diselenggarakan oleh Unpas, Bandung awal Juli lalu. 
2. Soal bagaimana perubahan pandangan itu mengubah juga kehidupan
pernikahannya, lebih baik Anda bertanya langsung kepada Ustadz Hari Moekti
sehingga memperoleh penjelasan yang lebih baik dan lebih jernih. Di atas
segala-galanya, tentu saja hanya Allah 'Azza wa Jalla sumber segala
kebahagiaan dan Dia-lah yang memberi kebahagiaan kepada siapa pun yang Dia
Kehendaki. Wallahu A'lam bishawab.
3.Bibit perselisihan bersifat latent (tersembunyi) karena pada masa ini
keindahan sebagai pengantin baru menutupi berbagai "ketidaksesuaian
kecil". Di sinilah permaafan dan permakluman dibutuhkan agar hal yang
tidak mengenakkan tidak menjadi bibit perselisihan yang sewaktu-waktu bisa
meledak. Setelah masa pengantin baru usai, rumah tangga masih penuh
kesejukan. Rumah terasa lapang dan damai, meskipun secara fisik sempit.
Masalahnya, persoalan hubungan antara suami dan istri tidak sesederhana
menuliskan kata permaafan dan permakluman. 

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes