Repair Win 7 Kado Pernikahan Tabahkan aku Kabhialvida na kehna Kepiting Pedas Anxietas Dawai Asmara XP Repair SFilm Veer Zaara

Jumat, 09 Maret 2012

Kado Pernikahan Bab 11




Tinggal di Mana Setelah Menikah?
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu...” (Al-Qur’an 65: 6)

etelah  menikah,  suami  mempunyai  kewajiban  untuk  menyediakan tempat  tinggal  bagi  istri  sesuai  dengan  kemampuannya. Para  Imam Mazhab1   sepakat,  dengan  beberapa  perbedaan  kecil,  bahwa  seorang suami wajib menempatkan istri di tempat tinggal yang layak. Sehingga
istri    terjaga    kehormatannya    dan    merasakan    kedamaian    dalam    kehidupan berumahtangga bersama suami.

Kalau suami mempunyai kewajiban untuk menyediakan tempat tinggal yang memberikan kedamaian, rasa aman dan privacy2 bagi istri, maka secara seimbang istri mempunyai kewajiban untuk tinggal di tempat yang telah disediakan oleh suaminya. Kewajiban untuk tinggal di rumah suami, betapa pun sederhananya tempat tinggal itu, merupakan ketetapan syari’at. Syari’at menjadikan kewajiban sang istri itu sebagai salah satu hak laki-laki yang menjadi suaminya. Suami berhak menuntut istrinya agar tinggal di rumah dan tidak meninggalkannya, kata Dr. Musa Kamil menjelaskan.

Sekarang, ketika Anda telah mengikat perjanjian berat (mitsaqan ghalizha) bersama istri, pikirkanlah di mana Anda tinggal. Kalau sekarang Anda dihadapkan pada beberapa kemungkinan tempat tinggal, Anda bisa mempertimbangkan maslahat dan madharat pada masing-masing tempat dengan tetap mengingat bahwa menyediakan tempat tinggal bagi istri merupakan kewajiban Anda.

Masalah ini juga bisa Anda musyawarahkan dengan istri, wanita yang insya- Allah telah mengikhlaskan kesetiaan dan kasih-sayangnya untuk mendampingi Anda sepanjang hidupnya. Apakah sebaiknya Anda tinggal di rumah kontrakan sederhana, kredit rumah KPR/BTN, membangun sendiri rumah tinggal secara berangsur-angsur, atau memenuhi permintaan mertua untuk tinggal bersama mereka?

TINGGAL DI RUMAH SENDIRI

Ada kelebihannya tinggal di rumah sendiri, baik kontrakan maupun hak milik, bagi mereka yang baru saja membangun rumah-tangga. Dengan tempat tinggal yang terpisah sehingga kita bisa mengatur sendiri roda rumah-tangga, kita bisa belajar secara  lebih  leluasa  untuk  saling  mengenal,  memahami  secara  lebih  baik  dan sekaligus membina kepekaan. Ketika suami-istri merasakan peluh perjuangan dalam meletakkan fondasi keluarga, insya-Allah akan dapat mengokohkan arah dan misi perkawinan. Perkawinan melahirkan kekuatan jiwa pada masing-masing anggotanya, kecuali jika masing-masing tidak memiliki kedewasaan yang cukup. Darinya lahir orang-orang yang  memiliki  kejelasan  arah  dan  keberanian berjuang.  Inilah  yang dibutuhkan untuk masa depan masyarakat yang lebih mulia.
Sepanjang sejarah, orang-orang besar yang membawa kemuliaan bagi umat manusia lahir dari keluarga yang memiliki kekuatan jiwa. Jiwalah yang menyimpan kekuatan dan kekayaan. Jiwa yang besar dan kokoh mampu mencairkan gunung- gunung batu yang keras. Tetapi, jiwa yang kerdil justru menyembunyikan kelemahan di  balik  apa-apa yang  tampak sebagai kekuatan. Lihatlah Baghdad setelah masa Nizamul Mulk lewat. Bangsa yang besar dengan sejumlah kemajuan peradaban itu, segera jatuh dan habis oleh serangan Tartar yang waktu itu masih belum berbudaya.
Dan dengan tempat tinggal yang terpisah dari orang lain, insya-Allah kita bisa lebih menghayati bagaimana membangun kekuatan jiwa untuk membentuk orientasi yang kokoh. Dalam rumah sederhana yang kita atur sendiri kita mempunyai kesempatan  untuk  menguati  dan  melengkapi.  Melengkapi  secara  fisik  dengan perabot-perabot rumah-tangga yang diperlukan, maupun melengkapi secara psikis dengan hati yang menerima, jiwa yang rela dan kesediaan untuk berjuang bersama- sama.
Jika kita mau menengok sejenak ke masa Rasulullah Saw dan para sahabat, kita melihat bahwa keluarga-keluarga yang baru saja terbentuk memulai kehidupan berumah-tangga  dalam      rumah   yang   terpisah  dari   orangtua.  Fathimah  putri Rasulullah, tinggal di rumah sederhana bersama suaminya Ali bin Abi Thalib dengan perabot rumah tangga yang dibeli dari sebagian mahar. Padahal mahar yang diterima Fathimah dari Ali bin Abi Thalib tidak terlalu besar untuk ukuran waktu itu maupun untuk ukuran waktu sekarang. Barangkali keseluruhan yang dikeluarkan untuk ke- pentingan tersebut tidak lebih besar dibanding sebuah prosesi perkawinan yang sangat sederhana di negeri kita yang jarang lahir orang besar ini. Wallahu A’lam bishawab.

Ketika menikah, Ali tidak memiliki sebuah rumah yang akan ditempati untuk hidup  berumah-tangga.  Fathimah  meminta  sebuah  rumah  pada  ayahnya,  kata
‘Abdurrahman Asy-Syarqawi dalam buku Muhammad Sang Pembebas. Tapi ayahnya menolak keras permintaannya. Lalu datanglah seorang laki-laki kaya dari kalangan Anshor yang bermaksud untuk memberikan sebuah rumah yang mungil di antara
rumah yang dimilikinya pada kedua suami-istri yang masih muda belia. Ali dan
Fathimah tidak mau menerima pemberian laki-laki tersebut. Akan tapi laki-laki itu bersumpah tak akan memasuki rumah itu selama-lamanya. Laki-laki itu tetap bersikap keras untuk memberikan rumahnya, hingga akhirnya Muhammad Saw. membolehkan mereka berdua menerima pemberian itu dengan cara jual-beli. Tidak dengan cara hibah.
Begitu Fathimah putri Rasulullah dan Sayyidina Ali membangun rumah- tangganya. Bagaimana dengan pengantin baru lainnya? Mari kita tengok Asma’ binti Abu Bakar yang baru saja menikah dengan Az-Zubair. Ayahnya adalah seorang pedagang kaya yang sukses (kelak kita mengenalnya sebagai khalifah Rasulullah yang pertama). Ketika mengungsi ke Yatsrib, Abu Bakar membawa kekayaan yang bernilai empat puluh ribu dirham Makkah, ukuran yang sangat besar waktu itu. Abu Bakar memang sangat kaya waktu itu. Tetapi bagaimana dengan keluarga Asma’ binti Abu Bakar dengan Az-Zubair?
Mari kita dengar penuturan Asma’ binti Abu Bakar:
“Az-Zubair mengawiniku,” kata Asma’, “Di bumi ini dia tidak memiliki harta atau hamba atau apapun kecuali unta dan kudanya. Akulah yang memberi makan kudanya, menimba air, menjahit timba airnya (yang terbuat dari kulit) serta membuat adonan.... Aku juga biasa mengangkut biji kurma dari tanah Az-Zubair yang diserahkan kepadanya oleh Rasulullah Saw. di atas kepalaku. Tanah itu jauhnya kira- kira dua pertiga farsakh (2 mil)... hingga Abu Bakar mengirimkan seorang pelayan kepadaku setelah itu untuk menggantikanku mengurusi kuda. Dengan demikian se- olah-olah dia memerdekakanku.” (HR Bukhari dan Muslim).
Salah satu manfaat tinggal di rumah sendiri, baik kontrakan maupun hak milik, adalah istri bisa berusaha melepaskan ikatan-ikatan keluarganya3 untuk memulai satu warna kehidupan rumah-tangga yang baru bersama suaminya. Ia belajar mengatur rumah-tangga sekaligus menyelami pikiran, semangat, dan perasaan suaminya. Sehingga ia bisa betul-betul mengenal suaminya dengan baik. Ini sangat penting bagi kelangsungan kehidupan rumah-tangga yang sejuk dan penuh kasih-sayang sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing, sejauh tidak melanggar batas-batas agama.
Kondisi   ini   merupakan   fondasi   untuk   mendidik   anak   setelah   mereka mendapatkan amanah tersebut dari Allah Swt. Cita-cita melahirkan keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah sulit untuk tercapai jika kedua orangtua anak itu belum memiliki bekal jiwa yang mantap dan kokoh. Bagaimana  orangtua  harus  memberikan  pendidikan  yang  akan  menumbuhkan syaja’ah (keberanian), iffah (kemampuan menahan diri), dan izzah (harga diri) jika

orang  tuanya  masih  berkubang  dengan  kurangnya  kehangatan  dalam  hubungan suami-istri?
Wallahu A’lam bishawab wastaghfirullahal ‘azhim.
Dalam rumah-tangga kita menginginkan kedamaian. Kita mengharapkan suasana keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga masing- masing anggota keluarga merasakan rumah mereka sebagai tempat peristirahatan yang memberikan keteduhan jiwa,  kelapangan  dan  kedamaian.  Tetapi  adalanya  keluarga  yang  baru  belajar berumah-tangga harus mengalami benturan-benturan sampai menyebabkan mereka saling mendiamkan.

Situasi semacam ini tidak perlu terjadi. Tetapi adakalanya, situasi konflik yang lahir karena masing-masing masih kurang mampu menyesuaikan diri, “menuntut” sikap khusus yang tidak memungkinkan ketika mereka tinggal dalam satu rumah dengan orangtua atau mertua. Alhasil, mereka harus tampil dengan topeng manis di depan anggota keluarga lainnya tanpa ada pengendapan masalah secara jernih. Akibatnya,  mereka  mengalami  konflik-konflik  tersembunyi.  Na’udzubillahi  min dzalik. Allahu A’lam bishawab.
Saya kira cukup sampai di sini pembicaraan kita tentang manfaat tinggal di rumah  sendiri.  Masih  ada  manfaat  lain,  yaitu  suami-istri  bisa  belajar  bertaba’ul dengan lebih baik serta lebih memungkinkan terbentuk kedekatan yang lebih erat antara suami dan istri. Tetapi saya kira lebih baik kita membicarakan beberapa hal yang perlu kita perhatikan kalau kita akhirnya memutuskan untuk mengontrak rumah. Adapun bagi Anda yang telah memiliki rumah hak milik, bisa langsung menyimak bab berikutnya Saat Tepat untuk Berhias. Atau, Anda bisa mempertimbangkan untuk tinggal bersama orangtua. Tentang ini insya-Allah akan kita bicarakan di bagian akhir bab ini.

Catatan Ketika Mengontrak Rumah

Sewa-menyewa   rumah   termasuk   salah   satu   kegiatan   muamalah   yang memerlukan perjanjian tertulis. Dalam hukum positif, akta sewa sangat penting untuk memberi jaminan hukum terhadap transaksi yang terjadi antara penyewa dengan pihak  yang  menyewakan  sehingga  tidak  ada  pihak  yang  dirugikan.  Baik  secara perdata maupun pidana.
Persoalan ini penting untuk Anda perhatikan, terutama ketika perjanjian sewa berlaku  untuk  jangka  waktu  beberapa  tahun  dimana  selama  masa  itu  banyak perubahan dan  kemajuan  yang  mungkin  terjadi.  Anda  perlu  membuat  perjanjian tertulis yang memiliki kedudukan di hadapan hukum, sehingga Anda maupun pihak yang menyewakan dituntut untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku antar kedua pihak. Pelanggaran atas ketentuan yang disepakati bersama dapat berimplikasi hukum.  Sebaliknya,  Anda  juga  akan  memperoleh jaminan  hukum  karena  segala
 
Bentuk  tindakan  pemilik  rumah  yang  menciderai  kesepakatan  bersama  dapat mendatangkan sanksi hukum.
Keluarga  muda  kadang  harus  menghadapi  berbagai  masalah  karena ketidaksiapan ketika pemilik rumah secara sepihak menciderai perjanjian, sementara penyewa tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada akta perjanjian yang memiliki kekuatan hukum. Mereka harus panik ketika pemilik rumah mengambil tindakan sepihak, misalnya dengan menaikkan harga secara tiba-tiba dan harus dipenuhi dalam tempo yang singkat semata sebagai strategi untuk mengeruk keuntungan secara sewenang-wenang. Mereka harus kalut karena tidak siap dalam banyak hal. Ketidaksiapan psikis untuk pindah, ketidaksiapan finansial untuk membayar atau mencari kontrakan baru, ketidaksiapan sosial untuk secara tiba-tiba menghadapi masyarakat yang berbeda, ketidaksiapan dalam masalah pendidikan anak-anak yang juga berarti proses adaptasi ulang yang mendadak serta ketidaksiapan lainnya yang riskan. Cukup mahal yang harus dibayar atas berbagai ketidaksiapan, terutama yang harus  dibayar  oleh  anak  bagi  perkembangan dan  pertumbuhannya di  masa-masa berikutnya. Kepribadian anak bisa menjadi fragile (seperti barang yang mudah pecah) jika peristiwa semacam ini sering terjadi. Kecuali jika Anda mampu menjadi ibu seperti Khadijah istri Rasulullah.
Keadaan semacam ini  tidak  hanya bisa  membahayakan kondisi psikis anak. Orangtua pun bisa mengalami masalah berkenaan dengan interaksi sosial maupun interaksi antar anggota keluarga. Keadaan tempat tinggal yang tidak stabil dan selalu dihadapkan pada sejumlah kecemasan untuk melakukan penyesuaian diri kembali secara total akibat tindakan sepihak, dapat mengubah orientasi keluarga. Sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang sulit berempati kepada orang lain, sekaligus mengembangkan sikap-sikap  egois.  Mereka  juga  bisa  mengembangkan orientasi- orientasi materialis atau bahkan ketidakpercayaan pada akhlak-akhlak suci. Ini merupakan  predisposisi  untuk  tumbuhnya  ideologi-ideologi  yang  bertentangan dengan watak suci aqidah Islam.
Ideologi ini bisa jadi tumbuh sebagai sikap hidup sehari-hari sekalipun mereka tetap merasa Islam sebagai pandang-an dunianya yang otentik. Bisa jadi secara sadar mereka mengalami perubahan pandangan. Yang pertama sebagai pandangan dunia aktual saja, sedang yang kedua menjadi pandangan dunia aktual sekaligus tekstual.4
Karena itu,  Anda  perlu  memperhatikan betul  masalah-masalah penting yang berkenaan dengan sewa-menyewa rumah, baik berkenaan dengan aspek hukum maupun as-pek psikis dan pendidikan. Perjanjian sewa-menyewa secara tertulis yang memiliki  kekuatan  hukum  perlu  Anda  perhatikan  sekalipun  Anda  melakukan transaksi (muamalah) dengan sesama muslim. Apalagi jika Anda berniat melakukan sewa selama beberapa tahun sementara bea sewa tidak dapat Anda penuhi sekaligus dalam satu kali pembayaran.
Masalah Anak Ketika Pindah

Keluarga-keluarga muda  di  masa  sekarang  semakin  banyak  yang  tinggal  di rumah-rumah kontrakan sampai mereka mempunyai beberapa anak. Bahkan adakalanya mereka masih tinggal di rumah kontrakan ketika anak-anak mereka sudah memasuki usia sekolah dasar maupun menengah pertama. Tidak jarang mereka harus berpindah-pindah karena berbagai alasan, sejak dari pencideraan akad sewa-menyewa secara sepihak oleh pemilik rumah sampai dengan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan sering berpindah.
Setiap perpindahan ke tempat tinggal baru menuntut penyesuaian diri kembali secara drastis. Apalagi jika rumah baru yang akan ditempati berada di lokasi yang sama sekali asing. Tidak ada orang yang telah dikenal sebelumnya.
Keadaan ini dapat menimbulkan masalah, terutama bagi anak usia TK ataupun awal SD.  Karena itu,  orangtua perlu mempersiapkan mental anak jauh-jauh hari sebelum pindah. Kecuali jika Anda terpaksa pindah secara mendadak atau anak Anda masih bayi (kalau ini, ibunya yang perlu mempersiapkan diri).
Orangtua perlu memberitahukan rencana kepindahan kepada anak beberapa minggu sebelumnya. Syukur bisa satu atau dua bulan sebelumnya. Selama masa itu, orangtua bisa memberi gambaran tentang tempat tinggal yang baru dan apa saja yang bisa dilakukan di sana. Orangtua juga bisa menceritakan mengenai berbagai hal yang “dapat” menjadi nilai lebih dari tempat tinggal yang baru sehingga menggerakkan keinginan anak untuk pindah. Ini akan sangat membantu anak untuk mengurangi stress dan perasaan terasing karena berpisah dari kawan-kawan bermainnya setelah berpindah.
Keterlibatan orangtua untuk membantu anaknya melakukan penyesuaian diri sangat diperlukan. Di saat-saat anak masih terasa terasing, orangtua perlu menjadi kawan yang akrab dan hangat bagi anak-anaknya sehingga mereka tetap bisa berkembang secara baik. Jika Anda mampu menjadi sahabat yang baik bagi anak- anak Anda, bisa jadi saat-saat seperti ini merupakan kesempatan bagi Anda untuk bisa menyelami anak Anda secara lebih mendalam dan akrab. Sehingga Anda mengenal betul  anak  Anda,  dan  anak  merasa hormat sekaligus sayang  terhadap Anda.  Ini membantu Anda menjadi orangtua yang efektif.
Untuk menuju ke arah sana, orangtua dapat melibatkan anak-anak untuk pindah tempat tinggal sekaligus melakukan penyesuaian diri. Ini dilakukan sejak masa belum pindah, ketika sedang pindah, sampai dengan awal-awal menjalani kehidupan di tempat tinggal yang baru. Yang disebut terakhir ini misalnya menemani anak untuk memperoleh kesempatan bergaul dengan teman sebaya, tanpa menjadikan anak terhambat proses sosialisasinya. Maksudnya, keterlibatan orangtua jangan sampai menjadikan teman-teman anak tidak bisa berekspresi sebagai anak-anak karena rikuh terhadap Anda.
Contoh lain adalah berkenaan dengan proses penyesuaian diri dengan sekolah yang   baru.   Orangtua   bisa   membantu   anak   melakukan   sosialisasi   dengan mengantarkan anak ke sekolah. Membantu anak melakukan penyesuaian diri dan sosialisasi ini juga bisa Anda lakukan dengan menanyakan perkembangan anak di

sekolah yang baru maupun mengajak anak mengkomunikasikan pengalaman- pengalaman serta perasaannya dalam penyesuaian diri dan bergaul dengan teman barunya.Sekali waktu Anda juga bisa memaklumi kebutuhan anak untuk bertemu dengan teman-teman lamanya di tempat tinggal Anda yang dulu. Anda justru bisa mengajak anak silaturrahmi ke tetangga-tetangga lama jika memungkinkan.

TINGGAL BERSAMA ORANGTUA

Adakalanya keluarga muda memilih tinggal bersama orangtua, bukan di rumah kontrakan atau bahkan rumah sendiri. Sebagian memilih tinggal bersama mertua karena desakan orangtua atau sanak kerabat istri. Sebagian karena desakan ekonomi, sehingga lebih baik dana yang terbatas dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan lain yang maslahat daripada membayar sewa rumah. Sebagian lagi karena dorongan untuk berbakti kepada orangtua. Ada juga yang ingin menyenangkan istri dengan berbagai alasan. Dan mungkin juga ada yang tinggal bersama mertua karena masalah ini  menjadi syarat nikah dari  istri  ketika suami mengajukan keinginannya untuk menikahi. Khusus yang terakhir ini, saya tidak membahas di bab ini. Silakan Anda melihat  kembali  pada  bab  "Dimanakah Wanita-wanita Barakah  Itu?"  di  jendela pertama buku kita ini.
Ada  kelebihannya  tinggal  bersama  mertua  atau  orang-tua5.  Mereka  telah memiliki pengalaman hidup  yang  banyak, sehingga insya-Allah telah  cukup  arif untuk memahami masalah-masalah suami-istri yang baru menikah. Mereka dapat memberi   bimbingan   kepada   anak   dan   menantunya,   sehingga   mereka   dapat membangun keluarga dengan kondisi yang lebih baik. Mereka juga bisa memberikan bantuan-bantuan kepada rumah tangga anaknya, tanpa menjadikan fondasi rumah tangga  anaknya  lemah.  Sebab  kebaikan  dapat  melemahkan  manusia.  Al-ihsanu yu’jizul insan.
Ada sebuah ungkapan yang dinisbahkan kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib6. Katanya, “Ajaklah bermusyawarah orang yang sudah tua karena mereka telah banyak pengalaman. Dan mintailah pendapat yang masih muda karena mereka masih jernih.”
Dalam keadaan demikian, tinggal bersama orangtua atau mertua di masa awal- awal menikah bisa justru lebih dekat kepada kemaslahatan. Mereka dapat membimbing Anda bagaimana menjalankan kehidupan berumah tangga, tanpa mencampuri perkara-perkara yang mestinya memang diserahkan kepada Anda sendiri untuk menentukan. Mereka dapat mengarahkan bagaimana Anda harus menjadi suami dan istri Anda harus mendampingi Anda, tanpa menjadikan Anda berdua mengalami ketegangan dan konflik-konflik psikis.
Orangtua yang bagus agamanya, insya-Allah dapat bertindak demikian. Mereka tahu apa yang menjadi hak menantu atas mertua. Juga, mereka insya-Allah dapat memahami batas-batas kewajiban seorang menantu. Hak menantu atas mertua antara lain “pembelaan” ketika menghadapi konflik.
Sejauh  yang  saya  pahami,  Islam  menggariskan  bahwa  mertua  merupakan pembela bagi menantu ketika menengahi masalah. Mereka membela menantunya, bukan anaknya. Mereka merupakan sumber rasa aman bagi menantu sekaligus membantu dalam proses ishlah (perbaikan hubungan) ketika masalah yang ada pada mereka tidak dapat diselesaikan sendiri. Sekalipun demikian, tentu saja mereka tetap dituntut untuk adil terhadap anaknya sendiri maupun menantu.
Jadi, orangtua suami merupakan “pembela” sekaligus sumber rasa aman bagi istri. Sementara orangtua istri merupakan “pembela” bagi suami. Bukan sebaliknya, menjadi sumber ketegangan dan perasaan tertekan karena adanya berbagai tuntutan yang ditujukan kepada menantunya.
Ketegangan dan konflik psikis ini rentan muncul ketika orangtua atau saudara- saudara  perempuan  suami  sudah  memiliki  sikap  “seharusnya  seorang  istri  itu sikapnya begini atau begitu”. Ketika sikap semacam ini muncul, yang terjadi adalah pihak keluarga suami mengembangkan tuntutan-tuntutan psikis terhadap istri. Padahal ketika seseorang memiliki tuntutan psikis untuk memperoleh perlakuan dari orang lain, ia akan berkurang kepekaannya terhadap kebaikan yang ada.
Masalah ini riskan, terutama jika terdapat dua hal. Pertama, tidak terbangun komunikasi yang baik antara suami dan istri. Kurang bagusnya komunikasi bisa jadi karena mereka mengalami kekalutan emosi, sehingga cenderung melihat masalah dengan satu arah. Bisa jadi karena belum matangnya kedua pihak, terutama suami, sehingga menghasilkan komunikasi yang cenderung koersif (memaksa)7.
Kedua, orangtua memiliki prasangka yang kurang baik tentang iktikad menantunya, sehingga dapat menjadi self-fulfilling prophecy (nubuwwah yang dipenuhi sendiri). Ini bisa membawa ke persoalan psikis yang akumulatif. Orang tua tetap mengingat “kesalahan-kesalahan” menantunya yang terjadi di masa lalu.
Ada berbagai hal yang dapat menyebabkan terjadinya kondisi yang demikian, khususnya dampak akumulatif. Salah satunya yang cukup rentan adalah kebiasaan untuk saling menceritakan kekecewaan dan secara bersama-sama mengembangkan sikap minor. Dalam keadaan demikian, masing-masing pihak tidak berusaha untuk memberikan interpretasi terbaik terhadap sikap atau perkataan pihak lain.
Tentang ini, Rasulullah Saw. mengingatkan, “Jika engkau mendengar sesuatu yang mungkin diucapkan oleh saudaramu, berikan interpretasi yang terbaik sampai engkau tidak dapat menemukan alasan untuk melakukannya.”
Ketika Imam Ahmad ibn Hanbal ditanya mengenai hadis ini, beliau berkata, “Carilah alasan untuknya dengan mengatakan mungkin dia berkata begini, atau mungkin maksudnya begini.”

Saya tidak berani meneruskan pembicaraan tentang masalah ini. Hanya kepada Allah kita berharap, mudah-mudahan Allah memperbaiki lisan kita dan menjaminkan bagi kita beserta keturunan kita keselamatan dunia akhirat. Allahumma amin.
Selain masalah komunikasi, terutama jika tidak ada budaya tabayyun (mengklarifikasi informasi), ada beberapa hal yang bisa menyebabkan munculnya konflik. Konflik ini mungkin bersifat internal, mungkin bersifat eksternal. Konflik internal lebih bersifat beban psikis. Mereka mengalami konflik batin, tetapi tidak sampai muncul ke permukaan sehingga tidak menimbulkan pertengkaran. Namun demikian masalah semacam ini dapat muncul dalam bentuk lain, misalnya sikap mereka atau salah satu di antara mereka terhadap orang lain. Bisa juga sikap mereka terhadap anak.
Sebagian sistem perkawinan juga potensial menimbulkan masalah. Hanya saja, pembicaraan tentang  masalah  ini  perlu  tempat  khusus  agar  cukup  leluasa  untuk mendalami. Saat ini cukuplah saya garis bawahi bahwa sejauh pemahaman saya, Islam menetapkan prinsip kesederhanaan dan kemudahan. Sederhana dalam proses, sederhana  dalam  pelaksanaan.  Mudah  dalam  proses,  mudah  dalam  pelaksanaan. Sejauh memenuhi ketentuan minimal; ada kedua mempelai, ada wali, ada saksi, dan ada mahar, cukuplah. Selanjutnya, suami dapat melaksanakan walimah --meskipun hanya dengan seekor kambing-- setelah memboyong istrinya ke rumah.
Beberapa hal yang bisa menjadi sumber masalah, antara lain:
Anak yang Diharapkan
Ada anak yang sangat diharapkan oleh keluarga dan sanak saudara. Ia menjadi orang yang dibanggakan. Ia menjadi orang yang diperhatikan dan didengarkan. Keluarga merasa kurang lengkap kalau ia tidak hadir dalam acara yang khas keluarga.
Anak yang diharapkan bisa juga karena keluarga bertumpu kepadanya untuk melanjutkan garis kehormatan keluarga; untuk melanjutkan klan keluarga --apa pun istilahnya.
Posisi sebagai anak yang diharapkan dapat menjadikan istri pilihannya lebih mudah  diterima  dan  dipahami oleh  keluarga.  Keluarga  memberi  dukungan  yang penuh dan tulus kepada menantunya, sehingga memudahkan dia dalam penyesuaian diri. Bisa juga sebaliknya, keluarga bias dengan sikapnya terhadap orang yang sekarang menjadi suami Anda. Keluarga biasa memperlakukannya sebagai porselen antik,   sehingga   mereka   mengharapkan   Anda   memperlakukan   suami   (juga keluarganya, barangkali) sebagai porselen antik. Padahal Anda dan suami menghendaki pola interaksi yang berbeda.

Keluarga yang Menuntut

Sikap menuntut kadang menimbulkan masalah. Ini terutama jika tidak diimbangi dengan  kelapangan hati  bahwa  setiap  orang  memiliki  sejarah  hidup  dan  sejarah keluarga sendiri. Setiap orang memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Setiap orang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang berbeda-beda keadaannya maupun kerangka sikapnya. Pola berpikir antara dua orang bersaudara saja bisa berbeda.
Sikap menuntut yang tidak diimbangi dengan penerimaan tentang keunikan perkembangan setiap manusia, menyebabkan keluarga tidak mau mengerti mengenai proses belajar. Mereka menuntut menantunya untuk bisa bersikap dan berperilaku sesuai “standar nilai keluarga” dengan tidak memberi permakluman bahwa untuk itu orang membutuhkan waktu. Waktu untuk belajar, waktu untuk menyesuaikan diri, dan waktu untuk mensinkronkan nilai-nilai yang ada dalam dirinya.
Di sinilah perlu komunikasi yang baik. Setiap kita wajar memiliki tuntutan. Yang kita  perlukan  adalah  mempertemukan  tuntutan-tuntutan  itu  agar  tidak  menjadi benturan yang keras.

Saudara Perempuan Serumah

Salah satu hal yang riskan ketika saudara perempuan serumah dengan istri adalah pembandingan. Saudara perempuan membandingkan dengan apa yang ideal menurutnya terhadap iparnya; membandingkan dirinya atau bahkan ibu dan kerabat dengan iparnya. Masalah juga bisa muncul jika saudara perempuan memiliki kecemburuan terhadap iparnya karena “telah mengambil” perhatian saudaranya.
Masalah ini ketika disimak kadang terasa lucu. Akan tetapi, peristiwa semacam ini acapkali memang terjadi. Meskipun demikian, tentu saja Anda jangan menggeneralisir sehingga menyamaratakan. Kehadiran saudara perempuan serumah kadang malah sangat positif karena mau memahami, mendampingi, membimbing ipar dalam memahami suaminya. Ini memudahkan istri mengenali dan menyesuaikan diri dengan suaminya.
Insya-Allah   benturan-benturan   tidak   akan   terjadi   seandainya   keluarga memahami agama, sehingga mereka menghormati kedudukan menantu dan saudara ipar dalam rumah serta memahami batas-batas hak dan kewajiban. Benturan kadang muncul karena tuntutan maupun penilaian didasarkan pada standar nilai pribadi yang kadang tidak jelas ukurannya.
Selain itu, peran suami dalam menyelaraskan sikap keluarga dengan istrinya sangat banyak menentukan. Misalnya berkenaan dengan kecemburuan saudara perempuannya, ia dapat menetralisir sejak awal.
Pada akhirnya, memang kedewasaan sikap dari kita yang banyak menentukan. Masalahnya, apakah kita selama ini telah cukup dewasa dalam mengarifi kehidupan kita? Itulah!

PRIORITAS TEMPAT TINGGAL

Setelah  menikah, maka  yang  harus  ditaati  pertama kali  oleh  seorang suami adalah orangtua, terutama ibunya. Sedang bagi istri, yang pertama kali harus dipatuhi adalah suaminya. Suami berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi istri. Sebagai imbangan, istri harus bersedia bertempat tinggal di mana pun, sejauh suami tidak menjerumuskan dengan menempatkannya pada lingkungan yang rusak dan penuh kefasikan (naudzubillahi min dzalik).
Kalau  suatu  saat  mereka  dihadapkan  pada  pilihan  untuk  tinggal  bersama orangtua agar bisa berkhidmat kepada mereka, sedangkan orangtua dari kedua belah pihak menghendaki, maka yang perlu diprioritaskan pertama kali adalah orangtua suami. Sesudah itu, baru orangtua istri. Meskipun demikian, jalan musyawarah adalah lebih baik, sehingga tercapai kemaslahatan bersama.
Ada hukum. Ada kearifan (tanpa merusak hukum).
Sampai di sini pembahasan kita tentang tempat tinggal. Semoga bermanfaat. Semoga Allah Swt. memberikan barakah dan ampunan-Nya. Allahumma amin.
Catatan Kaki:
1. Periksa misalnya dalam buku Suami-Istri Islami karya Dr. Musa Kamil terbitan Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997.
2. Penjagaan terhadap privacy istri ini terutama menonjol pada pandangan mazhab Hanafi.  Menurut  mazhab  Hanafi,  suami  harus  menyediakan tempat  tinggal untuk istrinya di satu rumah yang terpisah, tidak ada seorang pun keluarganya di situ, kecuali yang dikehendaki oleh istrinya.
3. Melepaskan ikatan keluarga tidak dalam pengertian mengurangi silaturrahmi, apalagi sampai memutus. Melepaskan ikatan keluarga berarti melepaskan pola berumahtangga sebagaimana yang diterimanya dalam keluarga orangtua, untuk kemudian bisa memulai pola kehidupan berumahtangga sebagaimana dikehendaki oleh kedua pihak: suami dan istri. Semoga dengan demikian, lebih mudah mencapai keharmonisan dan kekukuhan. Wallahu A’lam bishawab.
4. Pembahasan mengenai pandangan-dunia aktual dan pandangan-dunia tekstual silakan lihat pada buku Mendidik Anak menuju Taklif (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996).
5. Dalam bab ini, jika saya menyebut kata mertua dan orangtua secara bersamaan, maka kata mertua berarti orangtua istri. Sedang kata orangtua berarti orangtua suami. Ini karena yang berkewajiban menyediakan tempat tinggal adalah suami, sehingga pembicaraan ini seakan-akan saya tujukan kepada suami. Meskipun sesungguhnya juga perlu dibaca oleh istri karena istri juga bisa ikut memberi pertimbangan.
6. Saya belum menemukan sumber tertulis apakah qaul (pendapat, nasehat) ini memang berasal dari beliau r.a. atau tidak. Karena itu saya tidak memastikan bahwa qaul ini berasal dari beliau. Meskipun demikian dari isinya, insya-Allah kita bisa mengambil beberapa pelajaran yang bermanfaat.
7. Coercive-communication adalah pola komunikasi yang memberi efek perasaan dipaksa atau terpaksa pada orang yang diajak berkomunikasi. Pembahasan lebih lanjut tentang coercive communication bisa Anda baca pada bab Komunikasi Suami-Istri di jendela ketiga buku ini.







0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes